Melawan Stigma dan Menyadari Dampaknya

Sarah Silvia
3 min readFeb 6, 2020

“Cewek jangan sekolah tinggi-tinggi, kodratnya mengurus rumah”

“Cowok nggak boleh nangis, nggak boleh lemah”

“Hah depresi? Kamu sakit jiwa ya? Gila?”

Kita sadari atau tidak, masyarakat di Indonesia masih krisis dalam terbukanya sudut pandang. Isu-isu seperti feminisme hingga gangguan psikologis masih cukup awam untuk orang Indonesia, ditambah dengan budaya Patriarki yang sangat mendominasi. Yang tidak — atau jarang disadari, segala aspek yang disebutkan di atas membentuk stigma-stigma menyimpang yang kemudian ‘diamini’ bersama sehingga terlihat seolah-olah benar.

Stigma adalah sebuah cap atau labeling yang diberikan terhadap suatu kondisi, lalu menjadi konstruksi sosial dan ‘dibenarkan’ mayoritas, tanpa memandang salah atau benarnya. Yang paling menyedihkan dari stigma adalah bagaimana society di Indonesia terbiasa untuk merepresi perasaan serta menunjukkan dominasi gender. Pada hakikatnya, manusia terlahir dengan membawa berbagai perasaan — seperti yang mungkin pernah kamu tonton dalam animated movie buatan Disney yaitu Inside Out — ada perasaan senang, sedih, marah, takut, bahkan jijik. Yang terjadi dengan maraknya stigma di Indonesia, kita sejak kecil seolah diajarkan untuk merepresi perasaan kita, parahnya lagi hal ini diharuskan karena gender kita — yang sudah menjadi takdir sejak kita dilahirkan ke dunia. Misalnya saja, jika kamu terlahir sebagai wanita, kamu sudah ‘diajarkan’ untuk menerima menjadi pengikut, bukan pemimpin. Kata mereka, kamu jangan sekolah tinggi-tinggi, karena secara kodrat pria harus lebih tinggi. Kata mereka, sebagai wanita jangan terlalu vocal bersuara. Kata mereka, kamu jangan menjadi wanita karir, kodratmu mengurus suami dan anak-anak di rumah. Katanya, kamu jangan terlalu kuat, nanti tidak ada pria yang mau bersamamu. Bila kamu Muslim dan belum menggunakan hijab, kamu dianggap nakal. Ah, terlalu banyak. Padahal, mungkin maksudnya baik, tidak ada yang salah menjadi ibu rumah tangga atau pun wanita karir, dan tidak ada yang salah menjadi kuat mau pun ‘tidak terlalu bersuara’, stereotip dan stigma nya saja yang terlalu menganggu dan membelenggu, mengecap ada pihak yang salah bila yang ‘dianggap benar’ tidak dilakukan.

Coba kita urai stigma untuk para kaum adam. Meskipun Indonesia masih kental dengan asas patriarki, kaum pria pun tidak bisa terlepas dari jerat stigma, bahkan malah lebih mengikat mereka. Kata mereka, pria tidak boleh menangis, tidak boleh lemah, tidak boleh manja. Kata mereka, pria harus jago olahraga, harus bisa benerin ini-itu, jangan perawatan, dan sebagainya.

Bukankah, yang ‘kata mereka’ itu sama saja dengan merepresi perasaan? Bukankan, hal itu sama saja dengan mengubur potensi dan membuat manusia jadi robot hanya karena masyarakat mewajibkan kita menuruti stigma yang ada dalam konstruksi sosial kita.

Yang aku tau, perasaan itu genderless. Yang aku pahami, kesuksesan itu genderless. Yang aku yakini, menjadi manusia itu, ya selayaknya menjadi manusia, tidak peduli kamu pria atau wanita, kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan tanpa harus dikotak-kotakan.

Kemudian bergeser dari stigma dalam aspek gender, yang juga punya dampak buruk dan wajib dilawan adalah stigma dalam kesehatan mental. Untuk memperjelas konteks, gangguan mental atau kejiwaan memiliki beberapa jenis seperti bipolar, schizophrenia, depression, anxiety, insecurity, dan masih banyak kategori gangguan kejiwaan lainnya. Di Indonesia, pada tahun 2017, ada sekitar 8,4 juta orang yang mengidap kecemasan atau anxiety, dan sekitar 6,6 juta orang mengalami depresi. Hingga tahun 2020? Jumlahnya bertambah, bahkan mungkin aku atau kamu mengalaminya, mungkin kita belum berani meminta tolong bantuan profesional. Ini dampak stigma yang menurutku paling fatal, karena masih sangat banyak orang beranggapan bahwa kalau ada yang ke psikolog, ke psikiater, atau bahkan mencoba speak up mengenai gangguan mentalnya; mereka dianggap gila. Mereka dianggap sakit jiwa. Menunjuk orang dan mencemooh dengan istilah-istilah gangguan mental di atas ternyata cukup enteng dilakukan orang-orang di Indonesia, atau memandang sebelah mata menganggap orang tersebut ‘gila’, bukannya mencoba untuk membantu. Irisannya lalu sedikit banyak ‘menyenggol’ bullying. Menganggap yang terdampak gangguan mental adalah orang aneh, dijauhi, tidak didengarkan, tidak didampingi, atau bahkan diolok-olok dengan kata-kata ‘gila’ ‘bipolar’ dan sebagainya. Dampak terparahnya? Banyak yang takut mencari pertolongan, tidak tahu mau kemana, lalu memilih diam dan parahnya hingga bunuh diri. Ya, jika ditarik lebih lebar, dampak stigma bisa separah itu.

Sudah saatnya kita melawan stigma yang ada di Indonesia. Suara-suara yang menyumbang konstruksi sosial dan membuatnya seolah benar, padahal sering kali nyatanya sesat. Sudah saatnya kita menjadi manusia yang merasakan segala emosi tanpa perlu direpresi. Sudah saatnya kita mengeluarkan potensi dan jati diri tanpa perlu dilapisi keharusan bertindak sesuai gender. Melawan stigma artinya belajar menjadi manusia yang lebih rasional dan berempati, tanpa harus tunjuk cap ke sana dan sini.

--

--

Sarah Silvia

An aspiring content marketing specialist. Love to write anything that’s on my mind and hopefully matters for those who read it.